Kamis, 27 Oktober 2011

UJUNGAN (RITUAL BERDARAH UNTUK MEMINTA HUJAN)

Cerita ini berawal dari sebuah desa di wilayah kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara, provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Desa tersebut bernama Gumelem Wetan, sebuah desa dengan wilayah yang cukup luas berada di lembah perbukitan Serayu. Desa dengan jumlah penduduk mencapai hampir 12 ribu jiwa ini mempunyai beragam kesenian dan tradisi adat yang sampai saat ini masih terjaga keberadaannya.
Masjid kuno, makam kuno Ki Ageng Giring, tilas kademangan, merupakan peninggalan bersejarah dalam bentuk bangunan yang masih berdiri hingga sekarang. Kesenian batik, kuda lumping, lengger, blado, pencak silat, ketoprak, japin, dan berbagai jenis kesenian tradisional lain masih sering dipertontonkan untuk mengisi acara – acara hiburan di desa ini. Sementara dari kenampakan alam, desa ini mempunyai potensi wisata alami yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan yaitu obyek wisata air panas Banyu Anget.
Sekian banyak kesenian adat yang masih terjaga keberadaannya, ada satu jenis kesenian yang unik bernama Ujungan. Dirunut dari sejarah yang melatari, ujungan mulai muncul sebagai sebuah seni yang dipertontonkan pada sekitar tahun 1830 an. Ujungan merupakan sebuah seni ritual yang bertujuan untuk memohon hujan. Jadi, ritual ini dilaksanakan ketika terjadi kemarau yang berkepanjangan sampai berbulan – bulan yang menyebabkan desa ini dilanda kekeringan dan kekurangan air. Istilah ujungan berasal dari kata “mujung” yang berarti menyatukan tekat untuk menuju kesatu keinginan.
Di tempat yang telah disepakati oleh para sesepuh desa ritual ini biasanya dilaksanakan. Tempat tersebut bisa di lapangan, persawahan, atau tempat lapang lain yang memberi cukup ruang untuk petarung dan penonton. Ritual ini berupa seni pertarungan antara dua orang laki – laki dewasa menggunakan sebilah rotan sepanjang 80 centimeter sebagai senjata. Aturan yang berlaku pada ujungan adalah kedua petarung diperbolehkan untuk saling serang menggunakan rotan sebagai senjata utamanya dengan memukul bagian tubuh lawan. Batasan bagian tubuh yang boleh dipukul hanya bagian tulang kering (dari bawah lutut sampai atas mata kaki).
Ritual dimulai dengan membuat dua kelompok kubu petarung seperti pada pertandingan tinju. Kubu petarung ini biasa diberi nama sesuai arah mata angin, misalnya utara dan selatan atau timur dan barat. Masing – masing kubu memilih calon – calon petarung yang akan menjadi jago andalannya. Jumlah petarung ini bisa terdiri dari empat sampai enam orang tergantung kesediaan masing – masing kubu. Pemilihan calon petarung juga mempertimbangkan ukuran tubuh (dedeg piadeg) calon lawan yang akan dihadapi.
Pertarungan berlangsung dalam dua babak untuk masing – masing pasangan. Setiap babak berlangsung kurang lebih dua menit. Setelah babak pertama berakhir ditandai dengan pertukaran rotan atau disebut dengan istilah uluk ujung. Pertarungan ini dipimpin oleh beberapa orang wasit yang disebut walandang. Kehadiran walandang bisa memberikan rasa aman kepada para petarung maupun penonton karena walandang mempunyai hak untuk mengatur jalannya pertarungan.

Meskipun berlangsung selama dua menit setiap babak pertarungan, akan tetapi tidak jarang para petarung mengalami luka sabetan rotan yang cukup parah. Kadang seorang petarung keluar dari arena dengan cucuran darah dibetisnya. Bahkan sering dijumpai saking kerasnya pertarungan sampai menyebabkan bilah rotan pecah atau terbelah menjadi beberapa bagian. Aneh dan ajaib, hanya beberapa menit setelah keluar dari arena pertandingan, luka dan memar yang diderita oleh para petarung akan sembuh dengan cepat setelah diberi doa oleh para sesepuh adat.
Secara filosofis, sebenarnya pertarungan yang dilakukan pada seni ritual ujungan ini adalah sebuah bentuk pengejawantahan semangat , keberanian (courage), sportivitas, dan peluruhan bentuk pemasrahan diri manusia kepada Sang Pencipta dalam usaha memperoleh keinginan yaitu meminta hujan. Meskipun hanya merupakan sebuah ritual yang berlaku dalam lingkup kecil pada daerah sekitar lembah perbukitan Serayu, akan tetapi seni ritual ujungan ini merupakan salah satu aset budaya anak bangsa yang patut dilestarikan.

(dirangkum dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini:


ALEXA RANK