Cerita ini
berawal dari sebuah desa di wilayah kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara,
provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Desa tersebut bernama Gumelem Wetan, sebuah
desa dengan wilayah yang cukup luas berada di lembah perbukitan Serayu. Desa
dengan jumlah penduduk mencapai hampir 12 ribu jiwa ini mempunyai beragam kesenian
dan tradisi adat yang sampai saat ini masih terjaga keberadaannya.
Masjid
kuno, makam kuno Ki Ageng Giring, tilas kademangan, merupakan peninggalan
bersejarah dalam bentuk bangunan yang masih berdiri hingga sekarang. Kesenian
batik, kuda lumping, lengger, blado, pencak silat, ketoprak, japin, dan berbagai
jenis kesenian tradisional lain masih sering dipertontonkan untuk mengisi acara
– acara hiburan di desa ini. Sementara dari kenampakan alam, desa ini mempunyai
potensi wisata alami yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan yaitu obyek
wisata air panas Banyu Anget.
Sekian banyak
kesenian adat yang masih terjaga keberadaannya, ada satu jenis kesenian yang
unik bernama Ujungan. Dirunut dari sejarah yang melatari, ujungan mulai muncul
sebagai sebuah seni yang dipertontonkan pada sekitar tahun 1830 an. Ujungan merupakan
sebuah seni ritual yang bertujuan untuk memohon hujan. Jadi, ritual ini
dilaksanakan ketika terjadi kemarau yang berkepanjangan sampai berbulan – bulan
yang menyebabkan desa ini dilanda kekeringan dan kekurangan air. Istilah
ujungan berasal dari kata “mujung” yang berarti menyatukan tekat untuk menuju
kesatu keinginan.
Di tempat
yang telah disepakati oleh para sesepuh desa ritual ini biasanya dilaksanakan. Tempat
tersebut bisa di lapangan, persawahan, atau tempat lapang lain yang memberi cukup
ruang untuk petarung dan penonton. Ritual ini berupa seni pertarungan antara
dua orang laki – laki dewasa menggunakan sebilah rotan sepanjang 80 centimeter
sebagai senjata. Aturan yang berlaku pada ujungan adalah kedua petarung
diperbolehkan untuk saling serang menggunakan rotan sebagai senjata utamanya
dengan memukul bagian tubuh lawan. Batasan bagian tubuh yang boleh dipukul hanya
bagian tulang kering (dari bawah lutut sampai atas mata kaki).
Ritual
dimulai dengan membuat dua kelompok kubu petarung seperti pada pertandingan
tinju. Kubu petarung ini biasa diberi nama sesuai arah mata angin, misalnya
utara dan selatan atau timur dan barat. Masing – masing kubu memilih calon –
calon petarung yang akan menjadi jago andalannya. Jumlah petarung ini bisa
terdiri dari empat sampai enam orang tergantung kesediaan masing – masing kubu.
Pemilihan calon petarung juga mempertimbangkan ukuran tubuh (dedeg piadeg) calon
lawan yang akan dihadapi.
Pertarungan
berlangsung dalam dua babak untuk masing – masing pasangan. Setiap babak
berlangsung kurang lebih dua menit. Setelah babak pertama berakhir ditandai
dengan pertukaran rotan atau disebut dengan istilah uluk ujung. Pertarungan ini
dipimpin oleh beberapa orang wasit yang disebut walandang. Kehadiran walandang
bisa memberikan rasa aman kepada para petarung maupun penonton karena walandang
mempunyai hak untuk mengatur jalannya pertarungan.
Meskipun berlangsung
selama dua menit setiap babak pertarungan, akan tetapi tidak jarang para
petarung mengalami luka sabetan rotan yang cukup parah. Kadang seorang petarung
keluar dari arena dengan cucuran darah dibetisnya. Bahkan sering dijumpai
saking kerasnya pertarungan sampai menyebabkan bilah rotan pecah atau terbelah
menjadi beberapa bagian. Aneh dan ajaib, hanya beberapa menit setelah keluar
dari arena pertandingan, luka dan memar yang diderita oleh para petarung akan
sembuh dengan cepat setelah diberi doa oleh para sesepuh adat.
Secara filosofis,
sebenarnya pertarungan yang dilakukan pada seni ritual ujungan ini adalah
sebuah bentuk pengejawantahan semangat , keberanian (courage),
sportivitas, dan peluruhan bentuk pemasrahan diri manusia kepada Sang Pencipta
dalam usaha memperoleh keinginan yaitu meminta hujan. Meskipun hanya merupakan
sebuah ritual yang berlaku dalam lingkup kecil pada daerah sekitar lembah perbukitan
Serayu, akan tetapi seni ritual ujungan ini merupakan salah satu aset budaya
anak bangsa yang patut dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini: