Sertifikasi bagi seorang guru adalah sebuah proses
perubahan untuk menjadi lebih baik, lebih mencintai profesinya, dan selalu
berusaha untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran yang progresif dengan
membawa peserta pembelajaran menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Lantas
apakah seorang guru yang telah dinyatakan lolos sertifikasi maka seketika itu
dia berubah menjadi guru yang professional? Tentu saja jawabannya adalah tidak.
Seperti fenomena terjadinya Aurora yang terdapat di langit kutub utara, proses
seorang guru memperoleh sertifikat profesi adalah sebuah interaksi antara peluang
dan kemauan.
Peluang yang dimaksud berupa kebijakan pemerintah
yang memberikan kesempatan kepada guru untuk benar – benar menjadi sosok yang profesional
dan berdedikasi tinggi tehadap dunia pendidikan dengan prasarat tertentu. Prasarat
tersebut adalah standar yang harus dicapai oleh seorang guru untuk dapat
memperoleh sertifikat profesi. Ada tiga jalur yang digunakan untuk menentukan
seorang guru bisa memperoleh sertifikat profesi, yaitu melalui penilaian
kinerja guru, melalui jalur penilaian portofolio, dan melalui jalur
pendidikan/pelatihan.
Sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, jalur penilaian
portofolio telah menghasilkan ribuan sertifikat profesi bagi guru. Secara jujur,
penyusunan berkas usulan sertifikasi melalui portofolio bagi guru ada
keuntungan dan kekurangannya. Salah satu keuntungan portofolio bagi guru adalah
tidak menyita waktu dan biaya yang banyak (dibandingkan dengan mengikuti
pelatihan/PLPG) sehingga dia masih tetap menjalani kewajibannya sebagai seorang
pengajar. Sedangkan kekurangan yang ada pada portofolio adalah ketika guru
harus dapat mengumpulkan bukti – bukti pendukung aktifitas profesinya selama
menjabat sebagai guru. Kadang bukti – bukti pendukung yang dibutuhkan sudah
hilang atau rusak, sehingga guru melakukan rekayasa untuk mengejar target nilai
kelulusan. Bicara tentang fakta di lapangan: banyak guru yang dengan segala
cara berusaha untuk memenuhi semua bukti komponen portofolio dengan harapan terpenuhi
semua komponen portofolio maka dia akan memperoleh nilai di atas batas minimum
dan dapat lulus penilaian portofolio.
Jika pemenuhan komponen portofolio ini dilakukan
berdasar bukti otentik yang dimiliki
guru, maka ketika guru tersebut dinyatakan lulus merupakan hal yang wajar dan sudah semestinya. Akan tetapi
ketika pemenuhan komponen portofolio dilakukan seorang guru (maaf) melalui
rekayasa dan guru tersebut dinyatakan lulus penilaian portofolio, maka
sebenarnya ada ketidakadilan bagi guru – guru lain peserta sertifikasi yang
benar - benar menyusun portofolio apa
adanya tanpa usaha – usaha negatif untuk merekayasa bukti – bukti pendukung
komponen portofolio.
Rekayasa yang saya maksud misalnya dengan membuat
sertifikat/piagam yang menyatakan guru tersebut telah mengikuti kegiatan ilmiah
(padahal sebenarnya dia tidak mengikuti kegiatan tersebut). Contoh lain adalah
ketika guru menyertakan surat keterangan kepala sekolah yang menyatakan bahwa
guru telah melaksanakan bimbingan kepada siswa dalam berbagai kegiatan lomba,
ekstra kurikuler, dan kegiatan lain yang dapat membuahkan nilai bagi guru,
sementara pada kenyataan yang sebenarnya guru tersebut tidak pernah melaksanakan
bimbingan kepada siswa. Dalam versi yang lain, demi mengejar nilai kelulusan,
guru membuat berbagai macam surat keterangan keikutsertaan dalam organisasi
profesi dan kemasyarakatan, padahal sebenarnya guru tersebut tidak pernah sekalipun
menjabat sebagai pengurus organisasi apapun.
Kebohongan – kebohongan yang dilakukaan seperti
tersebut di atas terjadi karena guru terdorong untuk dapat lulus dan mendapat
sertifikat pendidik. Bukan dari sisi profesionalitas yang menjadi tujuan utama
si guru, akan tetapi iming – iming dari pemerintah yang menyatakan bahwa guru
yang telah lulus sertifikasi berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji pokok yang sebenarnya menjadi pemicu motivasi guru berusaha lolos
sertifikasi. Jika faktor di atas yang menjadi pendorong, dapat dipastikan meskipun telah
memiliki sertifikat profesi, guru tersebut tidak akan pernah dapat memahami apa
makna guru yang profesional itu sebenar – benarnya.
Memang tidak semua guru yang telah mengikuti program
sertifikasi mempunyai dasar motivasi seperti yang saya uraikan di depan. Ada guru
yang benar – benar mempunyai keinginan untuk menjadi lebih baik setelah
dinyatakan lulus sertifikasi. Terbukti, kinerja guru menjadi meningkat setelah lulus
program sertifikasi. Harapan kita semua tentang perubahan dunia pendidikan yang
lebih maju dan lebih baik masih terbuka lebar dengan tenaga pengajar (guru)
yang profesional, mencintai pekerjaannya, dan menjadikan sekolah sebagai pusat
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan serta mampu mengantarkan peserta
didik memaknai hidup dan kehidupannya sehingga dapat menjadi manusia Indonesia
yang berkarakter kuat untuk mencintai dan membangun bangsanya menjadi bangsa yang
mandiri. Mari kita berfikir positif, bahwa usaha pemerintah untuk memberi kesejahteraan
bagi guru – guru di Indonesia akan membuahkan
hasil yang luar biasa pada perkembangan dunia pendidikan di Indonesia
pada saatnya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini: